Senin, 03 Juni 2013

Tulisan 6

CINTA DAN PERKAWINAN

1. MEMILIH PASANGAN

Seluruh umat manusia didunia ini pasti membutuhkan partner ataupun teman dalam hidupnya. Karena, manusia diciptakan dan dikodratkan sebagai makhluk sosial. Makhluk yang tentunya tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Mau dia orang kaya, Yang punya kedudukan tinggi sampe Presiden sekalipun. Tentu mereka perlu seseorang disampingnya setidaknya membantu didalam hidupnya. Salah satu teman hidup selain teman, keluarga atau saudara adalah Istri maupun suami.
Memilih pasangan hidup yang tepat adalah salah satu bagian terpenting dalam hidup dengan banyak aspek dan faktor kriteria pemilihan yang harus dihitung dengan matang. Gadis atau janda , Duda atau Lajang, semua sama saja di mana anda harus melakukan penjajakan yang cukup sebelum melangkah ke jenjang yang lebih tinggi.
Bisa dikatakan bahwa pasangan hidup adalah suatu yang penting dalam menentukan masa depan kita. Oleh karena itu bisa dikatakan juga bahwa pemilihannya pun juga sangat penting. Jodoh memang di tangan Tuhan, namun tetaplah menjadi tanggung jawab bagi manusia untuk mencarinya. Jodoh tentu seperti rejeki, tidak akan datang ketika anda tidak mencarinya. Perkawinan adalah proses penyatuan dua hati, tidak hanya secara fisik saja. Hal ini dilakukan untuk mencari dan membentuk keserasian dan keseimbangan dalam membuat hidup menjadi lebih baik dan lebih indah.

TIPS MEMILIH PASANGAN HIDUP

Tentu semua orang ingin menikah satu kali selama hidupnya, agar keinginan ini terwujud perlulah seseorang itu memilah milih pasangan,agar suatu saat jika ada masalah yang bisa mengakibatkan perceraian atau perpisahan bisa dihindari.
  1. Rajin Beribadah
  2. Tidak Matrealis
  3. Sehat Jasmani maupun Rohani
  4. Saling Jujur, Setia dan Cinta
  5. Selalu Mensuport Anda

 

Tentu diatas itu yang paling diutamakan adalah rasa saling cinta dan percaya serta restu dari kedua orang Tua. Tanpa itu, tentu hubungan suami dan istri akan mendapat banyak masalah. Pilihlah pasangan sesuai dengan yang anda ingin kan dan saling Cinta.

2. HUBUNGAN DALAM PERKAWINAN

 

Menurut Cuber Harroff, secara keseluruhan terdapat enam klasifikasi atau tipe hubungan dalam perkawinan.

1. Conflict-habituated
Tipe hubungan conflict-habituated adalah tipe pasangan yang jatuh dalam kebiasaan mengomel dan bertengkar. Kebiasaan ini menjadi semacam jalan hidup bagi mereka, sehingga secara konstan selalu menemukan ketidaksepakatan. Jadi, stimulasi perbedaan individu dan konflik justru mendukung kebersamaan pasangan tersebut. Kadang didukung oleh kehidupan seks yang memuaskan.

2. Devitalized
Tipe hubungan devitalized merupakan karakteristik pasangan yang sekali waktu dapat mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain saling menghargai. Namun, mereka cenderung mengalami kekosongan perkawinan dan tetap bersama-sama, terutama demi anak dan posisi mereka dalam komunitas.
Cukup menarik, karena pasangan dengan tipe ini tak merasa bahwa dirinya tidak bahagia. Mereka berpikir bahwa keadaan yang dialami merupakan hal biasa setelah tahun-tahun penuh gairah dilampaui. Sayang sekali bahwa tampaknya ini merupakan tipe yang paling umum dalam perkawinan.

3. Passive-congenial
Pasangan dengan tipe passive-congenial sama dengan pasangan tipe devitalized, tetapi kekosongan perkawinan itu telah berlangsung sejak awal. Perkawinan seperti ini seringkali disebabkan perkawinan lebih didasari kalkulasi ekonomi atau status sosial, bukan karena hubungan emosional.
Seperti pasangan tipe devitalized, hanya sedikit keterlibatan emosi, tidak terlalu menghasilkan konflik, tetapi juga kurang puas dalam perkawinan. Nyatanya, pasangan-pasangan ini lebih banyak saling menghindar, bukannya saling peduli.

4. Utilitarian
Berbeda dengan tipe-tipe yang lain, tipe utilitarian ini lebih menekankan pada peran daripada hubungan. Terdapat perbedaan sangat kontras, terutama bila dibandingkan dengan dua tipe terakhir (vital dan total) yang bersifat intrinsik, yaitu yang mengutamakan relasi perkawinan itu sendiri.

5. Vital
Tipe vital ini merupakan salah satu dari tipe hubungan perkawinan dengan ciri pasangan-pasangan terikat satu sama lain, terutama oleh relasi pribadi antara yang satu dengan yang lain. Di dalam relasi tersebut, satu sama lain saling peduli untuk memuaskan kebutuhan psikologis pihak lain, dan saling berbagi dalam melakukan berbagai aktivitas.
Pada tipe ini masing-masing pribadi memiliki identitas pribadi yang kuat. Di dalam komunikasi mereka terdapat kejujuran dan keterbukaan. Bila terdapat konflik biasanya karena hal-hal yang sangat penting dan dapat diatasi dengan cepat. Ini merupakan tipe perkawinan yang paling memuaskan. Sayang sekali tipe ini paling sedikit kemungkinannya.

6. Total
Tipe ini memiliki banyak kesamaan dengan tipe vital. Bedanya, pasangan-pasangan ini menjadi satu daging (one flesh). Mereka selalu dalam kebersamaan secara total, sehingga meminimalisasi adanya pengalaman pribadi dan konflik. Tidak seperti pada tipe devitalized, kesepakatan biasanya dilakukan demi hubungan itu sendiri. Tipe perkawinan seperti ini sangat jarang.

3. PENYESUAIAN DAN PERTUMBUHAN DALAM PERKAWINAN

Untuk mencapai kepuasan dalam perkawinan, kedua belah pihak harus terus-menerus kembali menyesuaikan diri (readjusting) dalam memahami apa yang dapat diharapkan satu sama lain secara rasional dari peran masing-masing. Hal yang paling penting adalah memperbesar fleksibilitas dalam meletakkan harapan peran terhadap pasangan masing-masing.

Harapan yang terlalu kaku dan tidak realistis (misalnya mengharapkan istri harus pandai memasak atau suami harus mencukupi semua kebutuhan finansial) tentu akan menimbulkan kekecewaan. Sharing atau berbagi peran perlu dilakukan, misalnya istri ikut ambil bagian untuk mencari nafkah. Di sisi lain, suami juga ambil bagian dalam pengasuhan anak dan urusan domestik lainnya.

Fase ini paling menantang dalam hubungan pernikahan. Pasangan menikah tak lagi melihat dirinya masing-masing sebagai partner. Konflik dalam hubungan umumnya terjadi seputar masalah seks, intimasi, uang, rasa aman, dan masalah anak.

Psikolog Azin Nasseri mengatakan, "Tingginya angka perceraian lebih banyak berkaitan dengan cara pasangan menghadapi konflik. Kurangnya kemampuan dan pengetahuan mengenai cara membangun hubungan yang sehat. Termasuk cara memahami dinamika cinta yang alami terjadi."

Kalau saja pasangan mampu dan berkomitmen mengatasi konflik yang membuat mereka merasa kesepian, juga memutuskan untuk mengatasi rasa takit, marah dan penolakan, mereka bisa melewati fase ini lebih baik. Pasangan pun akan memiliki komitmen baru dalam hubungan, dan memiliki apresiasi lebih tinggi juga cinta pada pasangannya.

4. PERCERAIAN DAN PERNIKAHAN KEMBALI




Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintahan untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan (seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak – anak mereka. Banyak  negara yang memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan pasangan itu dapat diminta maju ke pengadilan. 

Jenis perceraian
  • Cerai hidup - karena tidak cocok satu sama lain.
  • Cerai mati - karena salah satu pasangan meninggal. 
Penyebab perceraian
Faktor penyebab perceraian antara lain adalah sebagai berikut :
  • Ketidakharmonisan dalam rumah tangga
Alasan tersebut di atas adalah alasan yang paling kerap dikemukakan oleh pasangan suami – istri yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail.
  • Krisis moral dan akhlak
Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya yang dilakukan baik oleh suami ataupun istri, misal mabuk, berzinah, terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang.
  • Perzinahan
Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian adalah perzinahan, yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun istri.
  • Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk mengatasi kesulitan akibat sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan harus merefleksi diri untuk memahami masalah sebenarnya, juga harus berupaya untuk mencoba menciptakan kerjasama dalam menghasilkan keputusan yang terbaik.
  • Adanya masalah-masalah dalam perkawinan
Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang namanya masalah. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya perselingkuhan antara suami istri. Langkah pertama dalam menanggulangi sebuah masalah perkawinan adalah :
  1. Adanya keterbukaan antara suami – istri
  2. Berusaha untuk menghargai pasangan
  3. Jika dalam keluarga ada masalah, sebaiknya diselesaikan secara baik-baik
  4. Saling menyayangi antara pasangan
Dampak perceraian
Perceraian sering menimbulkan tekanan batin bagi tiap pasangan tersebut. Anak-anak yang terlahir dari pernikahan mereka juga bisa merasakan sedih bila orang tua mereka bercerai. Namun, banyak sumber daya yang bisa membantu orang yang bercerai, seperti keluarga besar, teman – teman, terapi, konsultan, buku, dan DVD.



Hal Positif tentang Pernikahan Kedua
Menurut seorang pakar psikologi yang menyoroti dinamika pernikahan kedua, keputusan untuk menikah lagi memiliki banyak keuntungan, baik bagi perkembangan anak maupun orang tua. Pernikahan kedua bisa membuat orang tua merasa lebih tenang karena memiliki pasangan hidup sebagai tempat berdiskusi mengenai berbagai hal. Orang tua yang tadinya merasa terbebani karena harus memutuskan segalanya sendiri, kini bisa membahas masalah-masalahnya dan mendapat masukan solusi dari pasangan yang baru. Hal ini tentu berpengaruh terhadap tingkat stress orang tua.
Bagi anak, adanya orangtua tiri dapat menyediakan dukungan emosional dalam perkembangan psikologis, yang sebelumnya mungkin dirasa kurang memadai karena proses perceraian orang tua kandung. Juga ditemukan dampak positif pernikahan kedua pada anak laki-laki pra remaja karena ketika pernikahan kedua terjadi sebelum mereka beranjak remaja, keluarga tiri lebih mudah membentuk hubungan yang dekat dengan anak tersebut. Lebih lanjut, hal itu ternyata mampu mengurangi potensi masuknya pengaruh negatif dari lingkungan yang biasanya semakin kuat di usia remaja.
Secara garis besar, pernikahan kembali menyediakan keuntungan dari adanya figur orang tua yang lengkap di dalam rumah. Keberadaan figur ayah maupun ibu yang baru sedikit banyak tetap bisa menambal peran-peran yang mungkin tadinya tidak bisa dikuasai seluruhnya oleh orang tua tunggal. 
Tantangan dari Pernikahan Kedua
Pernikahan kedua memang memuat sejumlah hal-hal positif, tapi jangan lupa bahwa pernikahan kedua juga mengandung tantangan yang bahkan lebih besar dari pernikahan pertama. Walaupun masing-masing pihak akan berusaha keras untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dari pernikahan yang sebelumnya, tetap saja, penggabungan dua keluarga menjadi satu bukanlah hal yang mudah. Inilah tantangan-tantangan yang akan dihadapi individu pada pernikahan kedua:

  1. Membangun hubungan pernikahan yang kuat
    Menikah tentu saja membutuhkan masa-masa penyesuaian diri. Ketika pasangan yang menikah lagi membawa anak dari pernikahan terdahulu maka ada dua proses penyesuaian diri yang harus dilakukan, dengan pasangan dan dengan anak pasangan. Sementara itu kehadiran anak cenderung membuat masa bulan madu menjadi hilang. Biasanya pasangan justru akan memfokuskan perhatiannya pada aktivitas mengasuh anak, padahal masa bulan madu dibutuhkan untuk mempererat ikatan dalam pernikahan. Cobalah menyadari ini sehingga Anda bisa mulai merencanakan bagaimana membagi waktu dan perhatian di masa-masa awal-awal pernikahan.

  2. Membangun hubungan orangtua tiri dan anak tiri
    Kebanyakan orang merasa tidak nyaman dengan status “orang tua tiri” yang melekat pada diri mereka. Banyaknya mitos tentang kekejaman ayah atau ibu tiri seringkali menghambat usaha orangtua tiri menjalin relasi dengan anak tirinya. Nah, ada yang perlu Anda ketahui di sini. Anak-anak yang lebih muda usia biasanya lebih cepat menerima orangtua tiri dibandingkan remaja. Anak laki-laki lebih cepat menerima ayah tiri dibanding anak perempuan. Orangtua tiri yang “sok akrab”, sekalipun dengan cara yang positif, dijamin akan ditolak mentah-mentah oleh anak. Anak perempuan misalnya, mereka cenderung merasa jengah ketika ayah tiri berusaha melakukan pendekatan berupa kontak fisik seperti pelukan atau tepukan di pundak. Mereka akan lebih senang jika hanya diberikan pujian verbal atau hadiah-hadiah kecil. Jadi, relasi yang baik antara orangtua tiri dan anak tidak hanya ditentukan oleh keinginan dan usaha orangtua tiri, tapi juga ditentukan oleh kesiapan anak dan perkembangan anak. Cobalah belajar sedikit tentang psikologi anak, atau bertanya pada ahlinya kalau Anda nanti akan punya anak tiri.
  3. Membantu adaptasi relasi anak dengan orangtua kandung di kehidupan pernikahan baru
    Ketika orang tua memutuskan untuk menikah dengan orang lain, anak biasanya mempersepsi pernikahan kedua sebagai hilangnya kasih sayang dari orang tua kandung mereka. Anak merasa harus berkompetisi dengan orang tua tiri karena orangtua kandung akan lebih memperhatikan pasangan barunya. Ini adalah tantangan bagi orang tua kandung untuk bisa menempatkan diri secara adil. Jangan sampai anak mendapat pengukuhan bahwa memang benar orang tua kandung mereka lebih mencintai pasangan barunya daripada anak kandungnya sendiri. Selain itu, anak juga masih perlu beradaptasi dengan perubahan pola hubungan antara dirinya dan orangtua kandung yang tidak satu rumah (mantan suami/istri pasangan Anda). Anak butuh waktu untuk menerima bahwa saat ini ayahnya (atau ibunya) sudah tidak bisa terlalu sering bertemu atau datang ke rumah karena ibunya (atau ayahnya) sudah menikah dengan orang lain.
  4. Mempertahankan hubungan di keluarga besar
    Tugas ini paling berat karena hubungan di keluarga besar akan semakin kompleks dengan melibatkan saudara kandung dan saudara tiri, belum lagi sampai relasi dengan kakek nenek. Hubungan keluarga besar dari orang tua tiri cenderung akan lebih berjarak, berpotensi konflik, dan diwarnai interaksi negatif dibandingkan dengan keluarga besar dari orang tua kandung. Namanya juga keluarga yang baru dikenal, tentu butuh waktu untuk saling memahami karakteristik kepribadian masing-masing.
Wah, menikah lagi ternyata tidak mudah juga ya? Tapi saya harap Anda tidak gentar menghadapi tantangan yang menunggu Anda. Mari, saya bocorkan satu rahasia. Berdasarkan pengalaman saya, kesalahan terbesar yang sering terjadi pada pernikahan kedua adalah harapan bahwa segalanya akan langsung berjalan lancar dalam tempo yang cepat. Kita tidak ingin ada konflik, tetapi seringkali kita lupa mengakui bahwa proses pernikahan kedua membutuhkan waktu untuk penyesuaian diri. Perlu ada proses-proses adaptasi yang perlu terjadi, dan biarkan saja berjalan alami. Kita kerap ingin sempurna sehingga adakalanya sebagai orangtua yang kita lakukan pertamakali adalah memasang pancang tentang ritual atau kebiasaan yang baik di keluarga kita, sibuk pada citra keluarga yang baik, namun kurang waktu untuk membina kedekatan emosional dengan pasangan maupun anak. Alih-alih sibuk merias diri, lebih baik Anda meluangkan energi dan waktu untuk mendekatkan diri dengan keluarga inti Anda yang baru. Jika relasi yang kondusif telah terjalin di dalam keluarga, tentu citra keluarga yang baik akan secara otomatis tampil ke lingkungan.

Bekal Menghadapi Pernikahan Kedua
Pernikahan kedua memiliki dua misi yaitu membina hubungan yang dekat dengan pasangan sekaligus menjalin kedekatan emosional dengan anak (anak tiri dan anak kandung). Dengan demikian kualitas kepribadian kedua orangtua menentukan apakah pernikahan kedua akan dapat dijalani dengan mulus atau tidak.
Oleh karena itu, niat awal dari pernikahan kedua menjadi sangat penting. Mudah-mudahan memang karena dilandasi rasa ingin membina keluarga yang lebih baik serta didasari sikap ikhlas untuk menjalani semuanya. Orangtua yang memutuskan menikah kembali harus memiliki pribadi yang matang secara emosi disamping matang secara finansial. Kemandirian finansial memang diperlukan pada pernikahan kedua karena kebutuhan keluarga semakin beragam. Namun kematangan diri orang tua akan lebih banyak membantu dalam menyesuaikan diri dengan peran baru di pernikahan kedua. Meminjam konsep yang dikembangkan oleh David Goleman (pakar Emotional Intelligence), orangtua PASTI BISA melewati masa-masa sulit di pernikahan kedua, asalkan mereka:
  1. Menyadari perasaan yang dialami dan perasaan yang dialami oleh orang lain
    Sebaiknya pasangan saling melakukan introspeksi untuk menghayati dan menerima perasaan-perasaan yang ada, baik perasaan positif dan negatif. Meski tidak kita kehendaki, bukan tidak mungkin kita akan mengalami masa-masa konflik dengan pasangan yang kita cintai di pernikahan yang kedua. Nah, dengan kita mengakui adanya rasa kesal, marah, atau kecewa akan memudahkan kita dalam menghayati perasaan yang dialami pasangan maupun anak (kandung atau tiri).

  2. Menunjukkan empati dan memahami sudut pandang orang lain
    Empati adalah kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain. Biasanya individu yang memiliki empati yang besar tidak mudah berburuk sangka kepada pasangan maupun anak. Ketika ada masalah, individu tersebut akan meminta yang bersangkutan menceritakan apa yang dialami dan dirasakan. Di sinilah unsur kemauan untuk mendengarkan orang lain menjadi penting. Meminjam istilah dari Stephen Covey sang pencetus 7 Habits of highly effective people, marilah mendengar orang lain dengan mata dan hati.
  3. Mampu mengelola perilaku dan emosi dengan positif
    Jelas bahwa kita sebagai manusia terkadang tak luput dari kesalahan. Kita boleh kesal, marah, dan kecewa dengan keadaan. Apalagi pada pernikahan kedua ini sangat mungkin masalah muncul tiba-tiba. Siapa duga jika ternyata tadinya relasi Anda baik-baik saja dengan anak tiri namun sekarang dia sangat membenci Anda. Siapapun kita, perasaan kecewa maupun marah sangat normal dialami. Namun ingat bahwa kita juga yang memilih mau marah dengan cara apa. Apakah dengan memaki-maki sampai puas, menggunakan kekerasan fisik sampai lelah, membiarkan saja kemarahan dan mengalihkan perhatian pada hobi, atau justru mengatur respons yang tepat sehingga pada akhirnya Anda dapat duduk bersama dengan pasangan atau anak ketika membicarakan kesulitan-kesulitan yang muncul.
  4. Memiliki tujuan dan perencanaan
    Tugas penting dari perkembangan manusia adalah memiliki tujuan tentang apa yang hendak diraih. Artinya kita sebagai orang tua mestinya berorientasi pada tujuan tertentu. Di sinilah perlu adanya optimisme dan harapan di hati para orang tua. Optimisme mengarahkan semangat kita pada aura yang positif dan menjadikan kita orang-orang yang tangguh. Di sini ada muatan spiritual bahwa memang ada kekuasaan terbesar di luar kita, kita akui tetapi kita berusaha optimis menghadapi segala tantangan. Tentunya selain berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu disertai upaya untuk mengatasi masalah agar kehidupan dapat berlangsung lebih baik.
  5. Menggunakan cara-cara yang baik dalam mengelola relasi dengan sesama
    Hal yang dimaksud di sini adalah cara-cara yang produktif. Intinya adalah komunikasi dan pemecahan masalah. Proses pernikahan kedua bisa menjadi lebih mudah ketika kita membuka komunikasi, menyampaikan kebutuhan kita dengan cara yang tepat, boleh mengalah untuk kemudian di waktu yang tepat menyampaikan pendapat kita, berani menghadapi konflik untuk kemudian diatasi, serta cara-cara kreatif untuk mendekatkan relasi antar anggota keluarga. 

5. ALTERNATIF SELAIN PERNIKAHAN


Pilihan untuk hidup sendiri tanpa nikah selamanya adalah pilihan pribadi seseorang, tidak saja wanita tapi juga para pria yang karena suatu alasan pribadi memilih untuk hidup tanpa nikah. Pandangan bahwa seseorang harus menikah adalah nilai yang ditentukan oleh norma sosial di sekitar kita. Norma sosial memang tidak memandang kasus per kasus setiap individu. Siapa yang menentukan norma tersebut bisa diperdebatkan. Atau kenapa harus menuruti sebuah norma bila norma itu tidak lagi sesuai dengan keadaan pribadi? Sebagaimana norma lain, misalnya bahwa sebuah keluarga harus punya mobil, rumah, tanah luas dan sebagainya.  Siapa yang mewajibkan seseorang harus tunduk pada norma itu?

Menikah apa tidak, seseorang tetap bisa menyumbangkan tenaga dan pikirannya pada kemanusiaan atau kemuliaan dirinya. Mereka tetap bisa menikmati hidup dan berfungsi secara sosial. Jika alasan menikah karena menuruti norma, maka pilihan tersebut bisa memberi efek bumerang yang justru membuat seseorang tidak lagi bisa menikmati hidup sepenuhnya dengan bermakna. Menikah adalah pilihan penting dan harus bersedia untuk berkomitmen selamanya.

Godaan untuk menuruti norma sosial agar setiap orang menikah bisa membuat seseorang menyerah dan  berkompromi dengan idealismenya, mengorbankan hati dan prinsip hidupnya sambil membayangkan nikmat dan bahagianya bila bisa menikah. Bila menikah, tidur tidak harus sendiri, makan tidak harus sendiri, menikmati liburan tidak harus sendirian dan sebagainya. Menikah dengan orang yang tidak dicintai dan merasionalisasikan bahwa jika telah punya anak, maka mereka bisa mengalihkan cintanya pada anak-anaknya.

Tapi perlu juga dipertimbangkan bahwa pernikahan tidak selalu membahagiakan.  Pernikahan bisa berakhir dengan perceraian. Membesarkan anak juga bukan pekerjaan gampang. Cara mendidik anak kadang menjadi sumber pertikaian suami dan isteri.

Menikah dengan seseorang yang tidak dicintai adalah siksaan. Menikah dengan seseorang yang tidak saling tahu masing-masing pribadi adalah sebuah kesunyian.  Apalagi karena rasa tidak ada cinta itu tidak bisa dikatakan dan cuma dipendam di hati. Juga hati yang tidak bisa diajak kompromi untuk mencintai pasangan membawa dunia kesendirian yang mengeringkan jiwa dan hidup. Akhirnya depresi seolah berada dibalik pintu keluar masuk rumah perkawinan yang harus dilalui setiap mengawali sebuah hari dalam kediaman dan kesunyian.

Jika hidup tanpa nikah memang sudah jadi keputusan pribadi, maka nikmati saja yang menjadi keputusan. Diri pribadilah yang mengerti apa yang diinginkan dalam hidup dan membahagiakan. Hidup berdasar pada pilihan-pilihan pribadi yang disukai adalah sebuah kemerdekaan. Paling tidak, harus disyukuri bahwa diri sendiri tidak menjadi sebab dari hasil tindakan yang pada akhirnya ternyata tidak membahagiakan hanya karena harus menuruti norma yang ada.

Sebaiknya harus bisa menikmati hidup tanpa nikah dengan santai tanpa merasa bersalah karena tekanan sosial atau karena norma-norma yang tidak jelas asal usulnya.  Kadang sikap santai dan positif bisa memberi hasil yang lebih baik. Seseorang tertarik bukan karena kecantikan atau ketampanan lawan jenis.  Cantik atau tampan bila wajahnya terkesan tegang akan membuat orang enggan untuk mendekat. Ekspresi wajah yang santai seolah siap tertawa bila mendengar lelucon yang tidak lucu sekalipun bisa membuat orang ikut santai sehingga bisa mencairkan suasana yang kaku.

Jika selintas kita tengok sejarah, pada abad 18 di Amerika Latin pada masa kolonial, pada saat wanita yang hidup sendiri hingga usia dini diterima secara sosial, ternyata tidak lepas dari pandangan negatif masyarakat pada saat itu. Penelitian yang dilakukan oleh Leavitt-Alcántara di Amerika Latin – mengambil rentang waktu 20 tahun pada masa kolonialisme tahun 1750-1770, menyimpulkan bahwa wanita yang hidup single (termasuk menjanda) mengalami kesulitan dalam hal ekonomi, sosial dan budaya karena sistem sosial patriarchal.  Wanita yang belum menikah atau menjanda akan dipertanyakan moralitasnya secara negatif.

Karena alasan itulah, para wanita itu harus hidup di lingkungan patriarchal dan kadang mempercayakan hal ini pada pendeta gereja sebagai wali hukumnya. Para wanita tersebut mendedikasikan dirinya melayani masyarakat untuk menghindari stigma negatif terhadap mereka agar kedudukan dan peranan mereka lebih terhormat secara sosial.

Para wanita yang tidak menikah tersebut oleh peneliti diasumsikan punya peranan penting dalam perubahan politik dan agama di Amerika Latin pada masa itu. Pilihan tidak menikah selalu memberi jalan alternatif, plan A atau plan B. Ini tergantung pada pribadi masing-masing untuk menentukan rencana hidupnya agar hidup menjadi lebih berarti terutama bagi diri sendiri. Syukur bila bisa berarti bagi keluarga atau masyarakat secara luas bahkan menentukan arah sejarah bangsa sebagaimana wanita di Amerika Latin tersebut.

Sumber :

  • http://undangankipas.blogdetik.com/2013/01/05/tips-memilih-pasangan-hidup-bagi-yang-serius-ingin-menikah/
  • http://www.kesekolah.com/artikel-dan-berita/kesehatan/apa-tipe-hubungan-anda-dalam-perkawinan.html
  • http://female.kompas.com/read/2013/02/22/12330837/3.Fase.Penting.Pernikahan.
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Perceraian
  • http://www.lptui.com/artikel.php?fl3nc=1&param=c3VpZD0wMDAyMDAwMDAwY2ImZmlkQ29udGFpbmVyPTY2&cmd=articleDetail
  • http://herrybsancoko.wordpress.com/tag/tidak-menikah-dan-bahagia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar